28 Okt 2008…
Sumpah Pemuda, pada sebagian bangsa Indonesia sangat bermakna, sebagian pun menyangsikannya. Pada awalnya, untuk apa Kongres Pemuda II diadakan pada 28 Oktober 1928 diadakan? Untuk mempersatukan pemuda Indonesia, untuk membangkitkan semangat pemuda, untuk mengingatkan para generasi sebelumnya, Indonesia belum merdeka, jiwa bangsa kita terkekang, sebagaimana layaknya burung dalam sangkar yang anugerah terindahnya untuk terbang bebas terkunci, terbungkam, hanya untuk memuaskan pemiliknya dengan kicauannya, seperti bangsa kita saat itu yang hanya mampu memuaskan penjajah dan menjadi budak dalam segala arti. Tetapi sang Garuda mencoba bangkit, mencoba keluar dari kekangan teralis kolonialis, melalui Idealisme yang masih kental dari dalam jiwa para pemudanya. Bosan mereka dengan kungkungan penjajah. Mereka percaya, mereke bisa bersatu, mereka bisa melawan, mereka bisa merdeka dan mandiri. Mungkin semangat itu bisa kita kembalika, dengan mengingat bagaimana bangsa kita pada saat itu. Bayangkan, suara-suara yang mendambakan kemerdekaan, teriakan “Merdeka atau Mati” dari radio usang dengan suara speaker seadanya. Pidato bung Tomo, yang jika didengar, dapat mamanggil sesuatu dari kalbu kita.
Bertumpah darah satu, tumpah darah Indonesia.
Ya, kita bangsa Indonesia, disinilah tumpah darah kita, disini mestinya kita teteskan peluh, kobarkan semangat, kucurkan darah, tidak lain hanya demi bangsa kita, Republik Indonesia. Agar maju, agar mandiri, lepas dari penjajahan non-fisik yang kita rasakan saat ini.
Bolehlah, menuntut ilmu formal dan informal di luar negeri, mencari uang di luar negeri. Tapi, baktikanlah semua yang kita dapat untuk bangsa kita yang sekarang sedang merana ini. Bela rakyat kita, ingatkan para pemimpin kita yang sebagian masih bermental terjajah, pelayan bagi bangsa lain. Percikan api nasionalis dalam jiwa mereka, agar harga diri bangsa tidak terinjak-injak lagi.
Bertanah air satu, tanah air Inbdonesia.
Dari sinilah asal muasal kita. Tanah ini harus kita bela, pertahankan dari tangan-tangan keji, yang dengan kejamnya merenggut tanah air kita, baik secara materil dan materil. Ketahuilah, salah satu pantai di tanah air kita, didatangai kapal keruk negara asing. Mereka datangi pantai kita, mereka ambil pasir pantainya, mereka bawa pulang untuk memperluas wilayah pantainya sendiri. Para petinggi Negara kita tahu, tetapi mereka hanya diam saja, tidak berani melawannya, mereka masih merasa bangsa kita bangsa yang inferior, kebanggan sebagai bangsa yang besar terlah tercuri. Tanah air kita sudah tercuri, secara materil maupun non-materil.
Kibarkan semangat bertanah air Indonesia di seluruh sudut negeri. Katakana pada mereka, “Ini tanah air kami, tak akan kami serahkan barang secuil pun apa yang sudah kami dapat melalui perjuangan dan pengorbanan para pendahulu kami, hanya dengan kematian kamilah engkau dapat mengambilnya”.
Berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Memang, bahasa kita bukan bahasa dunia. Tetapi mengapa banyak dari kita yang amat bangga dengan bahasa asing melebihi bahasa Indonesia? Sebagai contoh, bahasa Inggris. Judul acara Tv berbahasa Inggris, judul lagu Inggris, judul pagelaran inggris, dan lain sebagainya. Padahal targetnya hanya untuk rakyat Indonesia. Mengapa tidak memakai bahasa Indonesia saja? Apakah tidak keren? Memang bahasa Inggris adalah bahasa dunia. Tapi, malah terlihat berlebihan pemakaiannya. Mana budaya kita?
Bangsa yang besar adalah bangsa yang memelihara budayanya. Dan bahasa adalah salah satu budaya. Tapi, mengapa ada negara yang disebut negara superpower padahal budaya asli mereka sudah hampir punah? Mereka sudah tak punya bahasa lokal setempat, bahkan kalau tidak salah pernah ada pembantaian penduduk asli setempat. Tidak ada lagi seni dan budaya tradisional pada bangsa mereka. Pantaskah mereka disebut bangsa yang besar? Maka, janganlah bangsa kita menjadi seperti itu, menjadi bangsa tanpa akar budaya sendiri. Kalau bisa, kita jadikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu dunia. Mampukah kita?
Saya teringat pada saat saya mendaki gunung Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat. Ketika itu, saya kibarkan bendera Indonesia di puncak sana, saya kibarkan di depan para pendaki lain. Entah mengapa, dada ini tergetar. Saya teringat pada masa sebelum kemerdekaan. Betapa sulitnya mengibarkan merah-putih di langit Indonesia. Mungkin itu hanya secuil rasa cinta tanah air jika dibandingkan dengan rasa cinta tanah air para pejuang. Tetapi, tetap memberi kebanggan pada siri saya.
Saya optimis pada generasi muda sekarang, mereka mempunyai idealisme yang cukup kuat. Begitu juga dengan nasionalisme nya. Terlihat dari banyaknya kegiatan yang diselenggarakan untuk menjaga kelestarian budaya Indonesia, acara-acara untuk memperingati hari-hari penting bangsa melalui berbagai format acara, ada pula pelajar yang ikut menyuarakan keprihatinannya melalui literature, aksi di kampus dan sekolah. Atau sekedar diskusi ringan tentang pembangkitan negara Indonesia.Selain itu, terlihat media pun masih peduli dengan Sumpah Pemuda, baik media cetak, Radio, dan Televisi. Semuanya membahas tentang 80 tahun Sumpah Pemuda, syukurlah
R.A Kartini pernah berkata, kurang lebih seperti ini: “Kami akan terus menggoyah-goyahkan gedung-gedung feodalisme itu. Kami akan merasa hidup kami telah berarti meskipun hanya ada sepotong batu yang runtuh”. Mari kita buat pernyataan lain, “Kami akan terus melindungi dan memajukan bangsa ini. Kami akan merasa hidup kami berarti meskipun hanya berteriak pada dunia :‘Tumpah darah kami satu, tanah air kami satu, bahasa kami satu, Kami adalah bangsa Indonesia’.”.
Putera Indonesia,
Angga