Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Powered by Blogger

Saturday, March 1, 2014

Alasan Orang Bule Lebih Banyak ke Luar Negeri


Pelancong bule? Biasa saja. Pelancong Indonesia? Hebat sekali..


Travelling. Ya, satu kata yang mungkin diinginkan oleh hampir semua orang. Siapa yang tidak mau jalan-jalan ke tempat-tempat wisata ataupun keluar negeri? Bahkan sebagian orang pun bela-belain untuk jadi wakil rakyat dan keliling dunia dengan alasan dinas ataupun studi banding memakai uang negara, bersama seluruh anggota keluarga mereka jika perlu.

Beruntunglah orang-orang yang memiliki pekerjaan yang menuntut mereka untuk bepergian jauh. Namun, bagi para pekerja non jalan-jalan atau pun non pekerja (mahasiswa misalnya) butuh usaha lebih untuk malekaukan kegiatan travelling ini. Minimal mereka harus mencari waktu libur panjang, ditambah cuti dengan cara membujuk atasannya supaya mengijinkan mereka. Bahkan ada pula yang berbohong sedang sakit atau urusan keluarga agar mendapatkan cuti. Lalu, yang menurut saya paling utama adalah usaha untuk mencari dana jalan-jalan ini. Jadi, untuk para traveller yang berkebangsaan Indonesia, menurut saya waktu dan uang adalah kendala utama.

Berbeda halnya dengan para pelancong dari negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika. Saya lihat banyak sekali dari mereka bertamasya keliling dunia. Banyak diantara mereka saya jumpai di tempat-tempat wisata tanah air tanpa dibebani tuntutan pekerjaan. Ya, banyak dari mereka melancong jauh tanpa beban, hanya ingin bermain. Nampaknya waktu dan uang tidak menjadi suatu masalah bagi mereka.

Hasil obrolan ringan dari bule-bule tersebut memang seperti yang sudah dibahas sebelumnya, masalah uang dan waktu.

Ternyata, masyarakat pekerja negara (yang katanya) maju memiliki hari libur lebih banyak daripada masyarakat pekerja tanah air. Begitu juga para pelajarnya. Mereka dalam satu tahun minimal mempunyai jatah cuti 25 hari. Ya, hampir satu bulan. Bandingkan dengan bangsa kita yang para pekerja nya hanya mempunyai waktu libur 12 hari. Dua kali lipat kawan. Belum lagi jatah waktu liburan musim panas, sehingga wisatawan bule akan terlihat lebih banyak di waktu-waktu summer ini (sekitar Juli-Agustus).

Masalah waktu ini menjadi pertanyaan saya. Apakah orang Indonesia memang sedemikian giatnya untuk mendedikasikan jiwa raga mereka untuk bekerja dan belajar formal? Apakah ini merupakan kebijakan sistem ataukah keinginan masyarakatnya sendiri?

Apapun alasannya, dengan waktu belajar dan bekerja kita yang jauh melampaui negara-negara maju, seharusnya negara kita akan lebih maju dan masyarakat kita akan lebih cerdas dan bahagia dibandingkan negara mereka. Namun sestelah bertahun-tahun sistem ini berjalan, tak juga bangsa Indonesia ini menyusul peradaban negara maju. Yang bisa kita banggakan hanya tersisa nilai-nilai dan kearifan lokal.

Lalu yang kedua, masalah uang atau dana. Dalam kegiatan melancong, tidak boleh dipungkiri dana merupakan masalah utama. Terkecuali mereka para petualang into the wild yang mendedikasikan diri mereka untuk perjalanan, pasti ada saja jalan untuk tetap hidup. Namun mereka yang hanya ingin berlibur (ini mayoritas alasan para pelancong) dan akan segera kembali ke tempat asal mereka, uang akan menjadi beban pikiran.



Perbedaan jumlah dan peminat kegiatan travelling bangsa kita dan bangsa bule “maju” tersebut, ternyata adalah pendapatan. Memang, jika dibandingkan dengan harga kebutuhan pokok di masing-masing negara akan sebanding dengan pendapatan gaji di masing-masing negara tersebut. Secara kurs, gaji orang indonesia rata-rata dibawah gaji orang eropa namun harga kebutuhan pokok disini lebih murah. Dan gaji orang eropa akan lebih besar dibandingkan gaji orang Indonesia tetapi harga kebutuhan pokok juga lebih mahal.

Menurut saudara saya yang tinggal di Paris, biaya hidup disana 4 kali biaya hidup di Indonesia. Bahkan kenalan saya dari Hamburg, Jerman, “Living cost in Indonesia can be 10 times cheaper than our country”. Sepuluh kali lipat. Hal ini tidak akan menjadi masalah jika kita hanya menjalankan kehidupan di negara masing-masing. Namun akan menjadi masalah jika pendapatan gaji ini akan digunakan untuk kegiatan jalan-jalan, ke luar negeri khususnya.

Ketika travelling ke luar negeri, ongkos perjalanan yang biasanya menjadi pos dana paling tinggi, akan menganut kurs International, biasanya US Dollar. Otomatis, biaya perjalanan ke luar negeri bagi bangsa eropa akan terasa lebih murah jika dibandingkan dengan bangsa kita. Kita dapat ambil contoh, jika perbandingan kasar gaji di Indonesia dengan Perancis adalah 1:4, maka biaya perjalanan bagi orang Indonesia adalah 4 kali biaya perjalanan orang Perancis. Misal gaji rata-rata di Indoneisa 3 juta rupiah, sedangkan perbandingan dengan Pernacis 1:4, maka dapat dikatakan gaji rata-rata orang Perancis adalah 12 juta rupiah. Jelaslah ongkos perjalanan yang misalkan berjumlah 20 juta rupiah pulang pergi, dapat mereka tutup dengan gaji selama 2 bulan. Sedangkan kita harus menunggu 5 bulan.

Apalagi jika dikaitkan dengan biaya hidup negara tujuan, kita sebagai orang Indonesia ketika datang ke Eropa pasti akan merasa biaya hidup lebih mahal. Sedangkan mereka orang Eropa yang datang ke Indonesia pasti akan berkata: “Wow, semua barang disini murah ya!!”
 

Mungkin itu, yang terus membayang-bayang di benak saya. “It`s all about currency”.

 

Kesimpulan pribadi saya, orang Indonesia yang memang gemar dan terus melakukan perjalanan ke luar negeri dengan dana pribadi, lebih hebat dari para traveller negara maju. Karena perjuangan dan pengorbanan para traveller negeri kita lebih banyak dari traveller negara maju. Pelancong bule? Biasa saja. Pelancong Indonesia? Hebat sekali..