Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Powered by Blogger

Saturday, June 27, 2009

Peluluhlantakan

Kamis, 070509(kalo gak salah)


Telah petang hari berganti seperti biasa, aku mengantarkan sang cinta pada sarangnya. Meskipun hati tak kuasa menahan rindu tak terperi. Salam berpisah telah terucap. Pamit untuk pulang sudah kusampaikan. Kupacu roda duaku menembus sunyinya malam, sembari menikmati gelap malam yang disinari rembulan dan dingin yang mencekam.

Terus kupacu dan kupacu motorku sampai melewati bilangan karapitan. Namun seketika, dingin yang menusuk tiba – tiba terpecah, digantikan suatu kehangatan yang tiba entah darimana. Dengan hati yang heran, kucari sumber kehangatan itu. Dan ketika kutengokkan paras, terkejut kumelihat cahaya merah pudar menyala, tidak jauh dari tempat kumelintas, dengan jarak sekitar 2 rumah. Kuhentikan kendaraan, bertanyalahku pada setengah baya yang sedang berjalan, dan ketika kuperoleh jawabnya, langsung kupacu lagi motorku mengitari sekitar satu blok perumahan.

Ketika ku telah berjarak hamper nol dengan sumber cahaya, kulihat massa berkumpul dengan suara - suara riuh rendah. Sebagian darinya berusaha menutup jalan dengan ban – ban roda empat usang yang tak terpakai. Sebagian lagi hanya dapat menyaksikan tanpa berbuat suatu apapun. Kulewati dan kutembus tabir jalan yang telah mereka coba jadikan terlarang itu. Kuberhenti seketika didepan sumber cahaya merah itu, dengan jarak sekitar 10 meter. Kutatap cahaya itu dengan campuran rasa kagum dan pilu. Kobaran api yang sangat besar sedang mencoba meluluhlantakkan tiga deretan tempat bermukim sembari ditemani hitam pekatnya asap, Rumah Makan Padang, tambal ban, dan bengkel ( mungkin). Dan aku hanya bisa terdiam dan terpaku tanpa bisa berbuat suatu apapun untuk menolong. Setelah beberapa saat, sepasukan prajurit oranye dating, tiga mobil pemadam dengan sirine pemekak telinga memcoba memadamkan kobaran itu. Api pun mengecil, dan membesar kembali tanpa komando. Terus mereka coba kungkung lidah yang terus menjilati dan memakan dan meluluhlantakkan. Tapi percuma kemudian dating bala bantuan mencoba menenangkan sang penari jago merah yang sudah mulai kesurupan. Ironis, aku hanya bisa terduduk diam di motorku, ingin rasa membantu walau apapun. Namun apa daya? Apa kemampuan yang kupunya? Hanya do’a. Ya, hanya do’a agar semua korban tetap mendapat yang terbaik yang akan terus diberikan oleh-Nya. Setelah kira – kira tujuh unit pemadam yang terus saling bahu membahu, kutinggalkan tempat kejadian.

Kembali kupacu scorpioku, menembus kembali Bandung yang telah sunyi. Lampu merah tiba – tiba menghentikan gerakanku di perempatan talaga bodas ke martanegara. Diam kumenanti hijau dalam kesunyian nyanyian malam dengan hanya diiringi orchestra beberapa kendaraan. Seketika, brak, suara nyaring terdengar. Terlihat orang bagai melayang melewati roda duanya yang juga terpental. Terjatuhlah orang itu ditengah separator jalan, menghujam kerasnya permukaan jalan setelah beberapa saat mengabsenkan tubuhnya dari bumi. Namun, beberapa saat kemudian dia langsung bangkit kembali, hebat.

Kuparkirkan motor di sisi separator sebelah kiri, masih dibagian jalan. Alam sadarku tetap berpikir bahwa tindakan itu masih benar. Tak ingin ku berpangku tangan lagi, tak ingin lagi ku biarkan sesamaku susah. Kudatangi lokasi di seberang, ternyata si korban telah menduduki motornya kembali. Sayang, tidak layak motor itu dikendarai lagi. Stang tlah bengkok parah, lampu telah pecah, sparkboard raib entah kemana, dan lainnya. Lalu kulihat rupa si pengendara, muka bersimbah darah dan penuh luka, dipoles memar dan tanah, anehnya dia tlah tegar berdiri. Setelah tahu bahwa si pengendara tak terluka parah, pengendara lain yang lemah sedikit menasehati sang korban. Dan aku pun hanya dapat bantu menyingkirkan puing – puing motor yang telah luluh lantak. Kemudian, si korban pun pulang memaksakan membawa motor hina itu. Pulanglah pula diriku ke rumah sembari kembali menembus kelam yang ditemani pendar remang cahaya sang rembulan.

No comments:

Post a Comment